Tentang Kunyah dan Tata Nama Orang dalam Budaya Arab
“Eh guys, guys, si A jadi aneh deh, coba lo liat profilnya namanya ganti jadi ada abu abu nya gitu”
“Wah ikut isis kali dia, nama teroris tuh”
“Eh itu ada sunnahnya tau. Dasar emang kafir lo sunnah rasul dicela”
“Tren aja kali, ikut kearab-araban. Menurut gw itu budaya arab aja, emang social construct di sana begitu”
“Haha cringe banget. Masa di linkedin pake nama gituan. Gak profesional amat. Kaya anak sma aja pake nama samaran”
بِسْمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
Dalam keseharian, saya dikenal dengan beberapa nama. Dari cara mereka meng-address saya, saya bisa bedakan kurang lebih mereka kenal saya di mana. Orang rumah dan keluarga panggil saya Reza. Di lingkungan kantor dan dengan orang yang baru kenal saya dikenal sebagai Fikri. Teman SMA dan teman-teman dekat saya lain lagi, mereka panggil saya Beseng, nama alay saya yang sudah terlanjur melekat. You can call me whatever, I don’t really mind. Bagi saya fungsi utama nama adalah identifier, sebagai pembeda antara satu individu dengan individu lain.
Apalah arti sebuah nama. Begitu kata Shakespeare.
“What’s in a name? That which we call a rose by any other name would smell as sweet.”
- Romeo and Juliet
Namun, tidak bisa dipungkiri bahwa seringkali nama adalah do’a. Harapan bagi si pemberi nama supaya yang diberi nama menjadi individu yang sesuai dengan namanya. Seperti orang tua saya yang memberi saya nama Fikri, dengan harapan saya menjadi orang yang berpikir (tentu berpikir yang baik-baik bukannya berpikir jorok). Dalam Al-Qur’an, ajaran Islam melarang memanggil seseorang dengan nama-nama yang buruk.
… Janganlah kamu saling mencela satu sama lain dan janganlah saling memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk (fasik) setelah beriman. …
(Q.S. al-Hujurat [49]: 11)
Rasullullah ﷺ dalam beberapa hadist mencontohkan untuk memberikan nama yang baik pada seseorang.
Diriwayatkan Aisyah ra., “Nabi ﷺ biasa mengganti (mengubah) nama yang jelek.”
(HR. Tirmidzi, shahih)“Salah satu putri Umar bin Khattab ada yang diberi nama Ashiyah (wanita pembangkang). Kemudian diganti oleh Nabi ﷺ dengan nama Jamilah (cantik).”
(HR. Ahmad dan Muslim)
Nama dalam Budaya Tradisional Arab
Mengenai nama, budaya Indonesia dan budaya Arab berbeda. Masyarakat Indonesia umumnya hanya memiliki ‘nama yang diberikan’ saja (given name), dan tidak memiliki nama belakang yang berhubungan dengan genealoginya, kecuali pada beberapa suku tertentu seperti Batak, Tionghoa, Minang, dan Minahasa yang mengenal adanya ‘marga’. Dalam budaya Arab, ‘nama yang diberikan’ (‘nama depan’) disebut dengan istilah ism, misalnya Muhammad, Umar, atau Utsman. Seperti kebanyakan budaya pada negara-negara barat, budaya arab, secara tradisional juga mengenal adanya garis keturunan di dalam nama seseorang. Ini disebut dengan nasab. Misalnya, Umar bin Khattab (Umar anaknya Khattab) atau Utsman bin Affan (Utsman anaknya Affan). Garis keturunan yang dipakai adalah garis keturunan dari ayah, mirip dengan nama-nama orang barat seperti Tom Hanks atau David Beckham. Namun berbeda dengan nama belakang (surname) Hanks atau Beckham yang merupakan ‘marga’, nama belakang dalam budaya Arab ini langsung merujuk pada nama depan dari sang ayah tersebut. Ini mirip dengan tata nama di negara-negara eropa utara seperti misalnya Islandia. Misalnya seseorang dengan nama Yah Gagalmaningsson berarti memiliki nama depan Yah dan ayah yang bernama Gagalmaning. Kalau si ayah tidak kreatif dan nama anaknya disamakan saja seperti ayahnya berarti namanya nanti Gagalmaning Gagalmaningsson. Begitu kira-kira. Ketahuan ya umur saya.
Jika seseorang adalah laki-laki, ‘kata hubung’ yang digunakan adalah bin (atau ben dalam tata tulis di beberapa negara, misalnya Prancis), kemudian dilanjutkan dengan nama sang ayah. Untuk seorang wanita kata hubung yang digunakan adalah binti, kemudian diikuti dengan nama ayah. Memang mirip dengan tata nama di Islandia, untuk laki-laki nama belakangnya merupakan nama ayah yang diberi imbuhan -son, sedangkan perempuan diberi imbuhan -dóttir. Misalnya si anak cewe ini diberi nama Oke maka nama panjangnya Oke Gagalmaningsdottir (udah ngga lucu lagi ya.. sorii).
Namun, di Islam ada satu nama yang unik, yaitu Isa bin Maryam. Bangsa Arab secara tradisional adalah bangsa yang patrilineal. Jarang sekali nama ibu dijadikan atribut. Nama yang diberikan pada Nabi Isa as. ini merupakan salah satu sarana dalam menolak pandangan Nasrani yang menyatakan bahwa beliau adalah anak dari tuhan, berbeda dengan apa yang dipahami dalam ajaran Islam.
(Allah) tidak beranak dan tidak pula diperanakkan.
(Q.S. al-Ikhlas [112]: 3)
Selain ism dan nasab, tata nama dalam budaya tradisional Arab dikenal juga adanya nisbah dan laqab.
Nisbah terkait dengan asal daerah seseorang. Contohnya salah seorang sahabat Nabi ﷺ, Salman Al-Farisi, yang berasal dari Persia. Seorang muslim dari Inggris misalnya, bisa jadi ada yang memiliki nama Al-Britani. Contoh lain misalnya penyair Jalaluddin Rumi yang berasal dari Byzantium, Anatolia, daerah yang sebelumnya dikuasai oleh Eastern Roman Empire. Contoh lain lagi yaitu salah satu ulama hadist, Muhammad Nasiruddin al-Albani, atau sering disingkat sebagai al-Albani. Nama ini merujuk pada tanah kelahirannya yaitu Albania. Namun, nisbah tidak terbatas merujuk pada tanah kelahiran. Meski tidak umum digunakan, dapat ditemui suatu nisbah yang merujuk pada nama daerah dimana orang tersebut pernah ikut berperang. Misalnya veteran perang Badar ada yang menambahkan al-Badri pada namanya. Dalam budaya tradisional Arab, menetap lebih dari 40 hari dalam lingkup suatu kaum dapat dianggap seseorang telah menjadi bagian dari kaum tersebut. Maka bukanlah sesuatu yang aneh bila ada seseorang yang meski tidak lahir di Inggris tapi lama menetap di Inggris menyebut dirinya sebagai al-Britani. Termasuk nisbah juga adalah sebutan al-Muhajir, yang artinya orang tersebut adalah orang yang baru berpindah ke daerah/negara Muslim. Nisbah dapat juga terkait dengan suku bangsa asal kaum dari seseorang.
Laqab terkait dengan julukan atau gelar yang dimiliki seseorang. Julukan ini bisa jadi merupakan sebuah gelar kehormatan maupun suatu hinaan. Contoh misalnya al-Amin, yang merupakan gelar pujian untuk Nabi Muhammad ﷺ karena beliau memiliki sifat yang dapat dipercaya. Contoh lain adalah Abu Bakar Ash-Shiddiq. Ash-Shiddiq, artinya ‘yang berkata benar’, merupakan gelar yang diberikan karena beliau adalah sahabat Nabi ﷺ yang pertama kali mengimani Isra’ Miraj.
Dalam budaya Arab tradisional, baik dalam masyarakat muslim maupun non-muslim, asal-usul adalah salah satu sumber kebanggaan. Ini merupakan salah satu karakteristik yang membedakan antara masyarakat Arab dengan masyarakat ‘Ajam (non-Arab). Kebanggaan ini salah satunya diaplikasikan dalam nama, dan dari nama tersebut kita dapat melihat berbagai macam informasi mengenai latar belakang seseorang.
Namun, di masa kini praktik pemberian nama yang super lengkap tidak begitu sering lagi ditemui kecuali pada kalangan tertentu. Contoh misalnya pemain bola Mohammed Salah. Nama ini merupakan nama yang modern, bukan nama yang mengikuti kaidah tradisional. Dari nama saja kita tidak dapat menentukan latar belakangnya, asal daerahnya, dan lain-lain. Hal yang dapat kita simpulkan barangkali hanya kemungkinan besar dia adalah seorang muslim.
Nama di atas kontras dengan misalnya tokoh pembuat kamus bahasa arab terkenal abad ke-7 hijriyah, Mukhtār al-Sihhah, yaitu Sheikh Imam Muhammed bin Abi Bakr bin ‘Abdul-Qadir al-Razi al-Hanafi. Kita banyak mendapatkan petunjuk dari nama beliau. Dari sebutan Sheikh dan Imam berarti beliau adalah seorang ulama. Muhammed adalah namanya, sedangkan nama ayahnya adalah Abu Bakr, dilanjutkan dengan nama kakeknya, ‘Abdul Qadir. Asalnya adalah al-Razi, sebuah kota di Persia (beliau juga sering dipanggil dengan sebutan Imam Razi). Lalu terdapat pula nama ‘al-Hanafi’ di belakangnya, yang menunjukkan bahwa beliau merupakan pengikut aliran Sunni yang bermazhab Hanafi.
Kadang, seorang arab juga hanya dikenal melalui nama ayahnya. Misalnya ahli sejarah Ibnu Khaldun (ini merupakan nama kunyah, dibahas pada bagian selanjutnya). ‘Ibnu …’ berarti ‘anak dari …’. Ibnu Khaldun berarti anak dari Khaldun. Nama lengkap beliau adalah Abū Zayd ‘Abd ar-Raḥmān ibn Muḥammad ibn Khaldūn al-Ḥaḍramī. Dari nama lengkap dapat dilihat bahwa beliau berasal dari daerah Hadramaut di Yaman.
Nama Kunyah
Selain tata nama yang dijelaskan dalam bagian sebelumnya, ada pula nama kunyah (كنية). Harap dibaca ‘kun-yah’ dipisah, jangan digabung karena bukan permen karet. Seperti laqab, nama ini terkait dengan julukan kehormatan. Menjadi orang tua merupakan suatu kehormatan dalam budaya Arab, dan budaya ini sangat menghargai asal-usul. Kunyah umumnya dikaitkan dengan hubungan kekeluargaan, misalnya ‘Abu …’ yang arti harfiahnya ‘ayah dari…’, ‘Ummu …’ yang artinya ‘ibu dari…’, serta ‘Ibnu …’ yang artinya ‘anak dari …’.
Penggunaan ‘Abu’/’Ummu’ umumnya diikuti nama anak laki-laki pertama yang lahir. Jika tidak punya anak laki-laki, maka bisa juga disematkan dengan nama anak perempuan yang pertama. Namun nama kunyah tidak terbatas pada hubungan keluarga saja. Seorang laki-laki yang belum menikah dan mempunyai anak bisa memiliki nama kunyah. Dapat dipahami bahwa nama kunyah merupakan nama julukan atau epitet (dalam arti positif), sebuah nickname yang tidak mesti merujuk pada hubungan keluarga.
Beberapa contoh nama kunyah yang tidak terkait dengan hubungan keluarga misalnya Abu Bakar (nama asli Abu Bakar adalah Abdullah ibn Uthman ibn Amir ibn Amr ibn Ka’b ibn Sa’d ibn Taym ibn Murrah ibn Ka’b ibn Lu’ayy Ghalib ibn Fihr). ‘al-Bakr’ artinya ‘anak unta’. Sebutan ini diberikan karena beliau adalah seorang yang sangat menyukai unta. Contoh lain adalah Abu Hurairah (nama asli Abdul-Rahman ibn Sakhr Ad-Dausi). ‘Hurairah’ artinya ‘anak kucing’. Namanya menunjukkan kecintaannya terhadap kucing karena dalam riwayatnya beliau memelihara banyak sekali kucing. Kunyah dapat menunjukkan kehebatan seseorang dalam suatu bidang, dan dapat pula menggunakan suatu metafora serta merujuk pada tokoh yang dikagumi. Istri-istri Nabi Muhammad ﷺ dijuluki dengan Ummu’l Mu’miniin, menunjukkan rasa hormat luar biasa terhadap peran mereka dalam dunia Islam.
Penggunaan nama kunyah dipakai pada suasana yang casual, familiar, biasa, namun tetap dalam penuh hormat. Pemakaian nama kunyah dapat menunjukkan suatu kedekatan bagi kedua orang yang berinteraksi, namun masih lebih sopan dibandingkan dengan penggunaan nama depan. Nama kunyah digunakan untuk menunjukkan rasa hormat pada lawan bicara. Namun ada kalanya kunyah digunakan untuk suatu hal yang negatif, misalnya pada nama Abu Jahal dan Abu Lahab. Julukan tersebut tersemat padaʿAmr ibn Hishām dan ʿAbd al-ʿUzzā ibn ʿAbd al-Muṭṭalib yang menentang Nabi Muhammad ﷺ. ‘Jahl’ artinya ‘ketidaktahuan’, sedangkan ‘Lahab’ artinya ‘api’.
Sayangnya, nama kunyah juga banyak dipakai oleh golongan-golongan yang dikategorikan sebagai teroris. Jurnalis barat pun seringkali tidak membedakan antara nama kunyah dan nama asli. Karena hal ini, nama depan ‘Abu’ jadi sering dikaitkan dengan terorisme. Padahal nama tersebut merupakan sebuah nama samaran, pseudonim, nom de guerre. Seringkali nama yang diambil merupakan nama tokoh yang dikagumi. Bisa nama sahabat nabi, bisa tokoh terdahulu dalam organisasinya, dan sebagainya.
Yang sering menjadi pertanyaan adalah, ‘Apa hukum nama kunyah? Sunnah atau sekedar mengikuti budaya Arab saja?’
Aspek budaya sudah dibahas di awal. Bahwa nama kunyah merupakan konstruk budaya Arab merupakan sesuatu yang tidak bisa dipungkiri. Namun, apakah di-sunnah-kan atau sesuatu yang mubah (boleh) saja? Ada perbedaan pendapat dalam hal ini, tetapi yang pasti, tidak ada yang mengharamkannya.
Hadist yang sering dijadikan rujukan dalam hal ini adalah hadist berikut.
Dari Anas ra. ia berkata: “Nabi ﷺ adalah manusia yang paling baik akhlaknya. Saya mempunyai saudara yang biasa dipanggil Abu Umair. Apabila Rasulullah ﷺ datang, beliau mengatakan, ’Wahai Abu Umair apa yang sedang dilakukan oleh nughair?’” (nughair adalah sejenis burung)
(HR. Bukhari 6203, Muslim 2150)Dari Urwah bahwasanya ’Aisyah ra. pernah berkata kepada Nabi ﷺ: “Wahai Rosululloh ﷺ, seluruh istrimu mempunyai kunyah selain diriku.”Maka Rosulullohﷺ bersabda, “Berkunyahlah dengan Ummu Abdillah.” Setelah itu ’Aisyah ra. selalu dipanggil dengan Ummu Abdillah hingga meninggal dunia, padahal dia tidak melahirkan seorang anak pun.”
(HR. Ahmad 6/107, 151, Abu Dawud 4970, Abdur Rozzaq dalam al-Mushannaf 19858, dinyatakan shahih oleh al-Albani dalam ash-Shohihah no. 132)
Aisyah ra. tidak memiliki putra, namun beliau dekat dengan keponakannya yang bernama Abdullah bin Zubair. Ibu dari Abdullah ini ialah Asma binti Abu Bakar, saudara perempuan Aisyah.
Dalam penjelasan hadits ini, al-Albani berkata bahwa hadits ini menunjukkan disyari’atkannya kunyah sekalipun belum mempunyai anak, karena hal ini termasuk adab Islam yang menurut pengetahuannya tidak ada dalam agama-agama lainnya, dan hendaknya kaum muslimin menerapkan Sunnah ini baik kaum pria maupun wanita.
“Umar ra. pernah mengatakan kepada Shuhaib: ‘Kenapa engkau berkunyah dengan Abu Yahya padahal kamu belum mempunyai anak?’ Maka dia menjawab: ‘Rasulullah ﷺ yang memberiku kunyah Abu Yahya.’”
(HR. Ibnu Majah: 3738, dihasankan oleh Ibnu Hajar dalam al-Ahadits al-Aliyat no. 25, dishohihkan al-Albani dalam ash-Shohihah no. 44)
Sebagian besar ulama madzhab Syafi’i men-sunnahkan penggunaan kunyah. Sebagian ulama lain berpendapat sedikit berbeda. Dalam teks hadits di atas, tidak ada pernyataan perintah (sighat amar) dari Rasulullah ﷺ. Kunyah adalah sesuatu yang dilakukan dan dicontohkan oleh Rasulullah ﷺ, tetapi bukanlah sesuatu yang diperintahkan. Atas dasar ini, kunyah menjadi dihukumi mubah.
Terkait kunyah, terdapat pula perintah jelas mengenai larangan menggunakan beberapa kunyah tertentu. Misalnya ‘Abu al-Qosim’ yang merupakan kunyah dari Rasulullah ﷺ.
Dari Abu Hurairah ra. berkata, Abu al Qosim ﷺ berkata: “Pakailah namaku dan jangan berkunyah dengan kunyahku.”
(HR. Bukhari 3539, Muslim 2134)
Sebuah penjelasan tentang kunyah diberikan oleh Muhyiddin Abu Zakaria Yahya bin Syaraf al-Nawawi al-Dimasyqi, dalam bukunya Al-Adzkar al-Muntakhabah min Kalaami Sayyid al-Abrar.
“…Tatakramanya ialah memanggil orang mulia dan kerabatnya dengan kunyah, demikian juga jika seseorang hendak menuliskan surat padanya, dan ketika meriwayatkan sesuatu darinya. Ucapkan: “Bercerita padaku Syaikh atau Imam Abu Fulan, Fulan bin Fulan”, ataupun semacamnya. Tatakramanya, seorang lelaki jangan menuliskan kunyahnya sendiri dalam tulisannya kecuali dia tidak dikenal oleh orang lain jika tidak menggunakan kunyah, atau kunyah tersebut lebih dikenal dibanding nama aslinya.
Dari penjelasan di atas, yang saya pahami adalah bahwa yang dianjurkan adalah memanggil orang dengan nama kunyah-nya dengan tujuan memuliakannya. Hal ini sesuai juga dengan hadits tentang memuliakan tamu.
Abu Hurairah berkata, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari Akhir, janganlah ia mengganggu tetangganya, barangsiapa beriman kepada Allah dan hari Akhir hendaknya ia memuliakan tamunya dan barangsiapa beriman kepada Allah dan hari Akhir hendaknya ia berkata baik atau diam.”
(HR.Al-Bukhari no.6018, Muslim no.47)
Kesimpulan saya pribadi tentang kunyah ini adalah ‘it’s ok’. Ada yang menganggap hal ini mubah saja dan dia memilih untuk tidak memakainya, it’s understandable. Ada juga yang memakainya untuk menjalankan sunnah supaya lebih kaffah (utuh) lagi dalam ber-Islam, it’s also very understandable. Adanya perbedaan pendapat ini bukanlah sesuatu yang perlu besar diperdebatkan. Tidak perlu heran. Namun jangan sampai sebagai sesama muslim mencela muslim lainnya yang memakai (atau tidak memakai) kunyah, serta mengabaikan adanya hadist-hadist mengenai kunyah ini. Jika memang memakai kunyah, perlu diperhatikan juga niatnya. Apakah niatnya benar-benar murni ingin menjalankan perintah sunnah, atau sekedar ingin gaya-gayaan meninggikan diri sendiri di atas orang lain? Kayanya sih ya, merasa mulia adalah bagian dari ketidakmuliaan.
Semoga kita semua dijauhkan dari kesombongan.
والله أعلمُ ﺑﺎ ﻟﺼﻮﺍﺏ
Lepas pantai Jawa, sehari sebelum Agustusan 2020