Bisakah Indonesia tidak mengimpor BBM?

Fikri Reza Pratama
10 min readNov 9, 2018

--

Pertanyaan ini mengemuka di salah satu grup media sosial saya, setelah seorang teman share artikel mengenai salah seorang capres yang berjanji akan mengupayakan untuk menghentikan impor apapun ke Indonesia termasuk BBM. Saya yang biasanya hanya nyampah saja di grup agak sedikit tergerak untuk komentar, berhubung pernah membaca satu dua dokumen terkait hal ini. Disclaimer dulu sebelum lanjut, ini hanya sharing opini saja dari informasi yang pernah saya baca, bukan bermaksud untuk mendukung atau memojokkan salah satu pihak. Akhir-akhir ini rawan sekali disangka buzzer cebong atau kampret kalau beropini di dunia maya, padahal mah …you couldn’t care less about Indonesian politics when you’re too busy killing monsters at Skellige, right?

Memang lebih simpel dan manis untuk mengucapkan ‘saya akan stop impor BBM jika saya presiden’, tetapi akan lebih cantik lagi jika bisa menjelaskan caranya (kalau memang ada). Apakah memang bisa atau ternyata hanya PHP saja?

Indonesia melakukan impor BBM, artinya ada ketidakseimbangan antara supply dan demand BBM dalam negeri sehingga Indonesia butuh beli dari luar negeri. Kalau benar faktanya demikian, untuk berhenti mengimpor ada dua cara pendekatan, yaitu dengan menaikkan supply atau mengurangi demand. Atau sekalian saja kita tinggalkan pemakaian BBM, switch to renewables. Selanjutnya kita cek dulu datanya dan kita lihat apakah memungkinkan untuk berhenti impor.

Supply

Basis argumen yang saya gunakan adalah data. Data pertama adalah mengenai kapasitas kilang (refinery) vs konsumsi minyak bumi di Indonesia.

Sumber: diolah dari BP Statistical Review of World Energy 67th ed., Juni 2018

Data di atas belum memperlihatkan secara detail untuk masing-masing jenis BBM, tetapi sudah cukup untuk memberikan gambaran mengenai adanya ketimpangan dalam kemampuan produksi kilang dibandingkan dengan kebutuhan BBM. Tidak ada penambahan kapasitas kilang signifikan selama 10 tahun terakhir, sementara konsumsi produk minyak bumi menunjukkan trend peningkatan. Throughput produk dari kilang hanya sekitar 79% dari kapasitas produksinya karena sebagian besar kilang merupakan fasilitas tua yang sudah beroperasi lebih dari 30 tahun.

Kilang minyak di Indonesia. Sumber: Statistik Minyak dan Gas Bumi 2016, Dirjen Migas Kementrian ESDM

Kilang terakhir yang selesai dibangun adalah Refinery Unit VI (RU VI) Balongan pada 1994 dan Refinery Unit VII (RU VII) Kasim pada 1995. Setelah itu wacana pembangunan kilang baru tidak muncul pada era pemerintahan Habibie, Gus Dur, dan Megawati. Pada era pemerintahan SBY di akhir 2005 mulai ada wacana beberapa proyek pembangunan kilang baru, tetapi wacana tersebut mandek dan tidak ada yang terealisasi.

Pada era pemerintahan Jokowi, ada perhatian khusus yang diberikan pemerintah terhadap kilang minyak. Perpres Nomor 146 tahun 2015 tentang Pelaksanaan Pembangunan dan Pengembangan Kilang Minyak di Dalam Negeri diterbitkan sebagai payung hukum. Selain itu, pembangunan dua kilang baru Grass Root Refinery (GRR) di Tuban dan Bontang juga dimasukkan ke dalam proyek strategis nasional lewat Perpres no.58 tahun 2017 tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional. Empat kilang yang sudah ada juga dilakukan perbaikan dalam paket proyek Refinery Development Master Plan (RDMP) di kilang Cilacap, Balikpapan, Balongan, dan Dumai. RDMP Cilacap ditargetkan selesai pada 2023, dengan penambahan produksi 50,000 bph (barrel per hari). RDMP Balikpapan ditargetkan selesai pada 2021, dengan penambahan kapasitas 100,000 bph. RDMP Balongan saat ini telah menyelesaikan tahap kajian Bankable Feasibility Study (BFS), dengan target dapat menambah kapasitas 255,000 bph. RDMP Dumai ditargetkan selesai pada 2023, dengan penambahan kapasitas 130,000 bph. GRR Bontang ditargetkan untuk selesai pada 2025 dengan kapasitas produksi 300,000 bph dan tahun ini ditargetkan untuk mendapatkan mitra. GRR Tuban saat ini masih dalam proses menyelesaikan permasalahan lahan. Beberapa proyek di atas sebagian masih dalam proses pencarian mitra bisnis luar negeri dan secara konstruksi belum berjalan. Dalam pembangunan kilang baru dan pengembangan kilang lama ini memang Pertamina tidak bisa bekerja sendiri, karena ada kendala baik dari sisi permodalan kapital untuk membangun dan akses untuk teknologi baru yang digunakan. Oleh karena itu, dibutuhkan kerja sama dengan mitra yang memiliki kemampuan dalam keduanya.

Dari paparan di atas dapat disimpulkan bahwa jika tidak ada perubahan dalam demand BBM dan trend penggunaan BBM terus meningkat, dalam kurun waktu 5 tahun ke depan Indonesia masih belum bisa lepas dari impor BBM. Proyek konstruksi kilang butuh waktu, investasinya pun besar. Kita tidak bisa serta merta untuk melakukan stop impor, harus ada masa transisi selama kilang baru dibangun. Untuk membuat kilang baru ini bisa jadi juga ada kebijakan tidak populer yang harus dilakukan. Kerja sama dengan asing pasti dibutuhkan, bisa dalam bentuk investasi atau menambah pinjaman luar negeri. Asing yang mana? Kalau itu terserah presidennya nanti. Arab, Cina, Jepang, US, Europe, Rusia, atau yang lain yang belum pernah kecewa kerja sama dengan Indonesia dan merasa negara ini aman untuk dititipkan uang. Yang benci sekali dengan asing siap-siap dikecewakan deh yaa... Alternatif lainnya nggak kalah tidak populer, menurunkan atau menghapus subsidi premium supaya keuangan Pertamina lebih kuat dan barangkali dengan itu bisa jadi solo investor di proyek-proyek kilang ini tanpa bantuan asing. Well… yang jadi korban rakyat kecil akan banyak sekali nantinya.

Dari sudut pandang supply, yang mesti dilakukan era pemerintahan selanjutnya adalah meneruskan (atau lebih baik lagi, mempercepat) rencana pembangunan kilang-kilang ini. Dalam laporan yang disusun oleh Dewan Energi Nasional pada Outlook Energi Indonesia 2016, jika semua proyek berjalan lancar dan dilakukan konversi energi, pada 2025 diproyeksikan kebutuhan BBM domestik Indonesia akan terpenuhi dan beberapa produk BBM bisa diekspor ke luar negeri.

BaU adalah kondisi business as usual (tanpa adanya proyek dan konversi energi). ALT 1 menggunakan asumsi pertumbuhan PDB moderat 5.1% per tahun, sedangkan ALT 2 menggunakan asumsi pertumbuhan PDB tinggi 7.1% per tahun. Sumber: Outlook Energi Indonesia 2016, DEN

Jika diterawang lebih jauh lagi, ada aspek lain yang harus diperhatikan, yaitu produksi minyak mentah (crude oil) dalam negeri.

* Termasuk minyak mentah, shale oil, oil sand, natural gas liquid. Tidak termasuk biomass dan derivatif batubara dan gas alam. Sumber: diolah dari BP Statistical Review of World Energy 67th ed., Juni 2018

Meski sudah jauh dari masa keemasannya, produksi minyak mentah Indonesia relatif masih stabil di atas 800,000 bph. Dua tahun belakangan produksi minyak mentah juga mengalami kenaikan. Namun, secara alami minyak mentah dalam sumur-sumur yang sudah berproduksi perlahan pasti turun dan akan habis. Eksplorasi harus terus dilakukan untuk mencari sumur-sumur baru baik yang konvensional maupun inkonvensional. Tren 10 tahun terakhir, cadangan minyak mentah ‘terbukti’ (proven) Indonesia menunjukkan penurunan, begitu pula dengan cadangan minyak mentah total. Saat ini, Indonesia bukan merupakan negara yang dapat memenuhi kebutuhan minyak mentahnya hanya dari produksi dalam negerinya sendiri, sehingga ada ketergantungan impor terhadap minyak mentah [catatan untuk yang awam: bedakan antara impor BBM dan impor minyak mentah]. Tanpa ada temuan reservoir minyak bumi baru yang besar di Indonesia dan menambah gencar ekploitasi cadangan minyak bumi yang sudah ‘proven’, swasembada energi dari minyak bumi tidak akan bisa tercapai.

Sumber: diolah dari Handbook of Energy & Economic Statistics of Indonesia 2018, Kementrian ESDM

Di masa depan, kilang minyak di Indonesia mungkin kapasitasnya akan besar, tetapi tetap tidak bisa lepas dari impor. Tidak mengimpor BBM, tetapi tetap mengimpor minyak mentah. This isn’t all bad. Indonesia pun sejak 2002 sudah menjadi nett importir minyak mentah. Malah seharusnya sudah dari dulu Indonesia bisa lebih banyak lagi mengolah bahan baku minyak mentah dan mengekspor barang jadi produk minyak bumi yang relatif lebih mahal harganya, tentunya setelah memenuhi kebutuhan konsumen domestik, seperti yang sudah dilakukan tetangga kita Singapura.

Dari sisi supply, harapan untuk dapat berhenti impor BBM sepertinya masih lama dan sulit untuk lepas dari ketergantungan impor minyak mentah. Lalu bagaimana dengan merekayasa demand? Apakah bisa menjadi alternatif? Apakah bisa diatur sedemikian rupa supaya impor bisa dikurangi bahkan ditiadakan?

Demand

BBM memang masih menjadi sumber bahan bakar utama di Indonesia dengan proporsi 44% konsumsi masih mengandalkan energi berbasis minyak bumi. Penggunaan BBM di Indonesia masih didominasi untuk penggunaan pada sektor transportasi yaitu sebesar 83 %.

Data tahun 2017 (tidak memperhitungkan biomass). Sumber: diolah dari BP Statistical Review of World Energy 67th ed., Juni 2018
Data tahun 2017. Sumber: diolah dari Handbook of Energy & Economic Statistics of Indonesia 2018, Kementrian ESDM

Untuk melihat seberapa besar permintaan masyarakat terhadap BBM, data penjualan BBM bisa dijadikan acuan. Pada tahun 2017, konsumsi BBM ada di kisaran 70.9 juta Kiloliter. Ada penurunan signifikan konsumsi BBM di awal era kepemimpinan Jokowi pada 2015. Pada awal masa pemerintahan Jokowi, kampanye energi yang digalakkan adalah konversi energi dan diversifikasi energi, dengan salah satu target bahan bakar yang dikurangi konsumsinya adalah yang berbasis minyak bumi. Walau di awal hasilnya cukup positif, dalam 3 tahun terakhir sudah ada kecenderungan peningkatan kembali konsumsi BBM, meski belum menyentuh level konsumsi BBM seperti pada 2013.

Sumber: statistik.migas.esdm.go.id

Efek positif juga dirasakan dalam aspek impor bbm, yaitu penurunan impor yang cukup signifikan sejak 2015 hingga saat ini dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Total impor BBM setelah tahun 2015 bisa ditahan dibawah 29 juta Kiloliter per tahun, dimana sebelumnya sejak 2012 selalu di atas 31 juta Kiloliter. Pada 2016 bahkan impor BBM bisa ditekan hingga pada angka 22.8 juta Kiloliter. Namun, pada 2017 terjadi peningkatan impor cukup tinggi ke angka 28.1 juta Kiloliter terutama disebabkan oleh meningkatnya impor bensin RON 92 (Pertamax). Meski penurunan beban impor BBM di masa kepemimpinan Jokowi sudah dapat turun, tetapi rasio beban impor dibandingkan dengan kebutuhan konsumsi BBM total masih cukup tinggi yaitu pada 39% di tahun 2017. Angka ini masih menunjukkan ketergantungan besar Indonesia terhadap impor BBM.

Sumber: Statistik Minyak dan Gas Bumi 2016, Kementrian ESDM
Sumber: statistik.migas.esdm.go.id

Proporsi impor BBM paling besar ada pada bensin Premium bersubsidi (RON 88), Pertamax (RON 92), dan minyak solar. Berpindahnya masyarakat dari Premium ke Pertalite (RON 90) yang mampu diproduksi sendiri oleh kilang Pertamina, merupakan salah satu faktor yang menurunkan impor Premium dari tahun ke tahun. Bahkan penjualan Pertalite di 2017 sudah melampaui penjualan Premium. Di sisi lain, peningkatan konsumsi Pertamax sepertinya kurang diantisipasi oleh pemerintah dan manajemen kilang sehingga impor untuk produk ini cukup melonjak. Pada produk lain yaitu minyak solar, untuk menurunkan permintaan pemerintah telah berupaya untuk melakukan konversi ke BBG dan biofuel.

Sumber: statistik.migas.esdm.go.id

Untuk menurunkan beban impor, langkah yang bisa dilakukan oleh pemerintah adalah dengan terus menekan permintaan Premium dan minyak solar dengan kebijakan-kebijakan konversi dan diversifikasi bahan bakar, serta pengelolaan kilang yang lebih baik dan lebih tanggap dalam membaca pergerakan permintaan pasar terhadap produk-produk BBM. Lagi-lagi, hal ini butuh waktu transisi dan secara teknis pun cukup rumit. Mengubah kebiasaan seseorang untuk meninggalkan BBM tidak semudah mencari pornografi di internet (please excuse my analogy). Perlu dukungan penuh dan kebijakan-kebijakan revolusioner dari pemerintah. Bisa jadi kebijakan yang tidak populer harus diambil, dengan tujuan membatasi konsumsi BBM masyarakat.

Karena bidang transportasi merupakan konsumen BBM terbesar, kebijakan-kebijakan di bidang ini juga pastinya dapat memengaruhi kenaikan atau penurunan konsumsi BBM. Pembangunan infrastruktur sarana transportasi umum yang memadai dan nyaman dapat mendorong masyarakat untuk mengubah kebiasaan naik kendaraan pribadi menjadi kendaraan umum. Kebijakan ganjil genap di perkotaan pun pasti sebenarnya ada efeknya ke pengurangan konsumsi BBM (tapi jujur buat saya yang sering jalan kebijakan ini menyebalkan dan bikin susah). Sekali lagi, mengubah kebiasaan konsumen itu tidak mudah. Menurunkan rasio beban impor 39% menjadi 0% tidak hanya butuh peran pemerintah sebagai pembuat kebijakan tetapi juga peran masyarakat sebagai konsumen yang bijak. Sepertinya ini kesimpulannya sama juga dengan poin sebelumnya, 5 tahun ke depan belum cukup untuk melepaskan diri dari ketergantungan impor. Perlu revolusi mental. Yang beneran. Bukan yang abal-abal.

Switch to renewables?

Pemerintah juga perlu menengok peluang penerapan Energi Baru Terbarukan (EBT)/ renewable. Mobil listrik adalah masa depan transportasi. Sumber listriknya bisa bermacam-macam. Biaya pembangkitan listrik dari renewable semakin murah tiap tahunnya, apalagi jika dibandingkan dengan energi berbasis minyak atau batu bara. Beberapa teknologi yang leading juga sangat ramah lingkungan.

Mengutip artikel forbes (https://www.forbes.com/sites/dominicdudley/2018/01/13/renewable-energy-cost-effective-fossil-fuels-2020/)

The cost of electricity generation based on fossil fuels typically falls in a range of $0.05 to $0.17 per KwH. …onshore wind and solar PV projects could be consistently delivering electricity for as little as $0.03 per kWh within two years.

Harapan saya untuk energi alternatif pengganti BBM di Indonesia adalah arahnya supaya lebih ke sumber matahari (solar power), angin, ombak, atau geothermal. Saya agak khawatir bila biofuel yang jadi alternatif terdepan, terutama untuk biofuel yang mengandung palm oil (sawit). Industri palm oil Indonesia terbesar di dunia dan sudah banyak pemain besarnya, jadi sudah tidak asing lagi untuk mengalihkan atau menambah lahan menjadi sumber energi alternatif. Namun potensi efek samping ke lingkungan yang patut diwaspadai. Jangan sampai hutan makin sempit lagi karena adanya alih fungsi lahan. Jangan sampai energinya sustainable tapi paru-parunya malah jadi unsustainable.

Satu lagi tantangan unik yang dihadapi Indonesia dalam aspek energi, yaitu faktor geografis. Indonesia mempunyai arena distribusi energi terkompleks di dunia karena merupakan negara kepulauan terbesar di dunia. Secara teknis kendala yang Pertamina dan PLN sangat besar dalam urusan distribusi energi — baik dalam bentuk BBM maupun listrik — , terutama pada daerah-daerah terpencil. Saat ini BBM masih menjadi andalan untuk bentuk energi yang mudah didistribusikan ke daerah-daerah terpencil. Pengembangan energi terbarukan di Indonesia juga menghadapi tantangan yang sama. Sebagai contoh, di beberapa negara lain yang landmass daratannya terpusat, pembangunan solar farm atau wind farm di suatu lahan efeknya bisa dirasakan ke seluruh negeri, karena listrik yang dihasilkan dapat langsung masuk ke sistem grid distribusi yang sudah ada sebelumnya. Di Indonesia implementasinya tidak bisa seperti itu. Pembangkitan listrik dari suatu sumber umumnya hanya dapat didistribusikan ke satu pulau saja, atau pulau-pulau sekitar yang lokasinya tidak terlalu jauh. Hal ini yang membuat harga energi di Indonesia relatif lebih mahal, baik dalam biaya kapital (investasi pembangunan awal) maupun biaya operasional karena manajemen energinya lebih terdistribusi. Dibutuhkan fasilitas utama dan fasilitas penunjang lebih banyak untuk memastikan penyebaran energi yang merata. Sangat disayangkan apabila kesulitan yang dihadapi dalam segi teknis ini ditambah ribet lagi dengan unsur-unsur politis, birokrasi yang berbelit-belit, serta orang-orang culas yang ngobyek membuat pengeluaran-pengeluaran yang tidak perlu sehingga biaya investasi meninggi. Yang gini-gini sudahi lah, biarkan para engineer bekerja dalam lingkungan lebih tenang ngga ribet ngurusin non-teknis, ngga kurang susah kok problem kami ini sebagai engineer.

Sudah 73 tahun Indonesia merdeka tapi ‘kemerdekaan’ energi belum dirasakan merata. Untuk melepas ketergantungan negara terhadap BBM, sudah saatnya segera meluruskan dagu dan menaikkan gigi sekali lagi untuk tancap gas beralih ke energi baru terbarukan. Dukungan penuh pemerintah dan semangat tinggi teknisi-teknisi muda — yang mau kerja di lokasi terpencil dan gajinya kalah keren dengan anak start-up ibukota — sangat dibutuhkan. Jangan sampai energi baru ‘terbarukan’ malah jadi energi baru ‘terlupakan’, terbuai dalam adiksi suatu substansi yang perlahan menghilang dari peredaran.

--

--

Fikri Reza Pratama
Fikri Reza Pratama

Written by Fikri Reza Pratama

| denizen of the north java sea |

Responses (1)